Perempuan membutuhkan penafsiran Al-Qur’an yang baik, agar tersingkap betapa Al-Qur’an itu memang ramah terhadap hak-hak perempuan. Sosok Shalahudin Kafrawi lumayan unik. Profesor kelahiran Indramayu, 28 Februari 1969 ini menimba ilmu keislaman di beberapa pesantren di Jawa Barat dan IAIN Sunan Gunung Djati Cirebon, lalu meraih MA dari McGill University, Kanada dan mendapat gelar Ph.D. dari Binghamton University di New York. Belajar Islam di Barat malah membuka cakrawalanya dalam mengajarkan Islam di Barat pula.
Bagaimana cara meyakini Al-Qur’an itu ramah perempuan?
Umat Islam tidak memerlukan cara khusus untuk sampai kepada kesimpulan bahwa Al-Qur’an ramah terhadap perempuan. Prinsip-prinsip penafsiran klasik sekalipun dapat mengantarkan pada pemahaman Al-Qur’an yang ramah perempuan. Memang ada pandangan bahwa Al-Qur’an diskriminatif terhadap perempuan. Sebagian masyarakat di Amerika misalnya berpendapat Al-Qur’an memandang kaum wanita sebagai second class citizens atau warga kelas dua. Pendapat mereka berdasarkan pada pemberitaan di media massa yang mengulas perlakuan diskriminatif umat Islam terhadap perempuan. Apalagi bila perlakukan diskriminatif itu memakai alasan ayat-ayat Al-Qur’an, seakan membenarkan pemahaman yang negatif terhadap Islam dan Al-Qur’an. Banyak ayat Qur’an yang dipandang diskriminatif atau ditafsirkan secara diskriminatif. Contohnya, ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum waris pada Surat An-Nisa ayat 11 dan 176. Diskusi yang mendalam dan menyeluruh mengenai makna ayat-ayat ini diperlukan untuk memahami apakah ayat-ayat ini bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Karena lebih dari sepuluh abad sebelum wanita di Barat memperoleh hak waris, misalnya Al-Qur’an dengan tegas memberikan hak perempuan memperoleh warisan yang menjadi praktik di sebagian masyarakat Arab saat itu.
Apa yang perlu dilakukan?
Kaum perempuan perlu menanggapi secara nyata penafsiran yang cenderung kurang ramah terhadap perempuan. Keterlibatan kaum perempuan dalam memahami Al-Qur’an dari sudut pandang mereka akan mewarnai pemahaman yang lebih adil. Sementara ini, penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an masih didominasi oleh kaum laki- laki. Karenanya, tidak heran suara yang muncul adalah penafsiran yang maskulin dan tidak ramah terhadap perempuan. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi kaum wanita. Dapatkah perempuan membuktikan bahwa mereka memiliki kualifikasi dan kemampuan untuk melakukan proses pemaknaan terhadap Al-Qur’an? Siapkah penafsiran dari perempuan akan diuji oleh masyarakat yang sudah terbiasa dengan penafsiran diskriminatif terhadap perempuan? ini pun merupakan tantangan bagi kaum laki-laki. Bersediakan mereka memberikan ruang penafsiran kepada perempuan?
Ini merupakan tantangan tersendiri bagi kaum wanita. Dapatkah perempuan membuktikan bahwa mereka memiliki kualifikasi dan kemampuan untuk melakukan proses pemaknaan terhadap Al-Qur’an? Siapkah penafsiran dari perempuan akan diuji oleh masyarakat yang sudah terbiasa dengan penafsiran diskriminatif terhadap perempuan? ini pun merupakan tantangan bagi kaum laki-laki. Bersediakan mereka memberikan ruang penafsiran kepada perempuan?
Bagaimana tanggapan wanita Barat terhadap Al-Qur’an?
Tanggapan wanita Barat terhadap Al-Qur’an sesuai dengan pergaulan dan latar belakang pendidikan mereka. Di antara tanggapan positif mereka berkenaan dengan pertanggungjawaban setiap individu akan perbuatan masing-masing. Laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan status di hadapan Tuhan dalam mempertanggungjawabkanperilaku masing-masing. Misalnya, Adam dan Hawa berkontribusi pada kesalahan yang mengakibatkan mereka terusir dari surga dan keduanya mendapatkan ampunan setelah bertobat. Ini sangat berbeda dengan tradisi Yahudi dan Kristen yang menyatakan bahwa Hawa-lah yang menyebabkan terusirnya mereka dari surga.
Wanita Barat juga memandang positif terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang merujuk pada kemanusiaan kaum wanita. Terlepas dari konteks masyarakat Arab yang patriakis, banyak ayat Al-Qur’an yang menekankan aspek kemanusiaan kaum wanita. Visi Al-Qur’an mengenai keadilan juga memiliki sendiri di kalangan wanita Barat. Ini pula yang berkontribusi pada Islamisasi dari kalangan orang Amerika keturunan Afrika.
Bagaimana memilih tafsir bagi perempuan?
Kriteria tafsir yang baik bagi perempuan tidak berbeda dengan kriteria tafsir yang baik bagi laki-laki. Tafsir yang baik bagi perempuan bukanlah tafsir yang memenangkan kepentingan perempuan di atas kepentingan laki-laki. Sebagaimana tafsir yang bagi laki-laki bukanlah tafsir yang memihak kepentingan laki-laki di atas kepentingan perempuan. Tafsir yang baik adalah tafsir yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai mitra dalam mewujudkan misi kehidupan yang damai dan sejahtera bagi seluruh lapisan masyarakat muslim. Tafsir semacam ini dapat menempatkan kaum laki-laki dan kaum perempuan pada posisi yang saling mengisi dan melengkapi.
Belum ada kitab tafsir yang secara komprehensif ditulis oleh perempuan itu sendiri. Pertanyaan ini merupakan kesempatan untuk kaum perempuan untuk mengisinya.
Apa kitab tafsir yang properempuan?
Belum ada kitab tafsir yang secara komprehensif ditulis oleh perempuan itu sendiri. Pertanyaan ini merupakan kesempatan untuk kaum perempuan untuk mengisinya. Memang ada karya tafsir perempuan Mesir Aishah Abd Al Rahman atau yang dikenal dengan nama pena Bint al-Shati. Namun, tafsirnya tidak secara lengkap mengupas seluruh ayat Al-Qur’an. Dia salah seorang pionir tafsir tematik, akan tetapi dia tidak melakukan pembahasan yang secara khusus membahas mengenai isu-isu yang berkenaan dengan perempuan.
Hal yang sama terjadi dalam khazanah tafsir di Indonesia. Meski demikian, karya tafsir Quraish Shihab dan Hamka bagus untuk maksud ini. Bagi keduanya, konteks penerapan ayat-ayat Al-Qur’an adalah umat Islam di Tanah Air dalam masa kini. Sehingga banyak hal sangat berbeda dengan berbagai karya tafsir yang ditulis oleh musafir di Timur Tengah di abad pertengahan, atau mufassir Asia Selatan di zaman modern.
Kedua penulis ini memiliki keterbukaan dengan perkembangan zaman. Mereka berkeinginan menghadirkan pesan-pesan ilahi dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia. Sehingga menjadikan tafsir mereka ramah dengan konteks sosial kita, dimana perempuan tidak dianggap sebagai ‘pelengkap penderita’.
Ada saran?
Bagi perempuan sibuk, membaca Al-Qur’an secara rutin beserta terjemahannya akan mengingatkan pentingnya relavansi Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Perhatian bagaimana ayat-ayat Al-Quran mengajak kaum laki-laki dan perempuan mewujudkan kehidupan yang bahagia secara bersama. Menyandingkan beberapa terjemahan dan karya tafsir akan membantu memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an.
Bagi perempuan yang memiliki semangat dan waktu mendalami Al-Qur’an ada beberapa hal yang sangat membantu; 1. Mempelajari bahasa Arab, 2. mempelajari kondisi sosial masyarakat Arab sebelum dan saat wahyu diturunkan, 3. Merujuk khazanah tafsir klasik, dan 4. Menggunakan pengalaman yang mereka miliki untuk memahami Al-Qur’an. Dengan bekal ini perempuan akan menjadi pelaku yang aktif memahami dan menjelaskan ayat-ayat yang berkenaan dengan perempuan.
Sumber : Majalah Cetak Paras, Februari 2015